Home » Opini: Republik Mainan

Opini: Republik Mainan

by Media Nuca

Oleh: Patritius Arifin

Tindakan Represif pemerintah karena “cawe-cawe” Jokowi makin terang jelang pilpres 2024. Kita rangum saja sejak putusan MK (16 Oktober 2023) soal batas usia capres-cawapres yang oleh MKMK kemudian dinyatakan melanggar etik berat.

Setelah putusan MK yang kontroversial itu, di mana sangat kentara bunyi ketentuan soal batas minimal usia capres cawapres dan pengecualiannya dipaksakan, persepsi buruk masyarakat makin kencang pada Jokowi (termasuk mereka yang sebelumnya die hard fans-nya). Mereka kecewa dan segera menyerang Jokowi.

Namun, pihak pemerintah tak bergeming. Memang karena sudah terlanjur basah. Munafik itu masuk akal jika masih ada yang menaruh persepsi baik pada kita, tapi kalau semua sudah berbalik menyerang, permainan kotor bawah meja itu kini ditampilkan terang-terangan.

Jubir Istana sibuk bikin pembelaan demi pembelaan tiap hari. Anwar Usman sendiri (ipar Jokowi/paman Gibran) yang dipecat dari ketua MK akibat Putusan yang luar biasa nepotis itu juga menggugat Suhartoyo, ketua MK yang baru menggantikan posisinya (15 November 2023). Ia mengaku difitnah dalam putusan MKMK.

Masih belum yakin Jokowi korup? Baik. Kemarin (29 November 2023), mantan ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo yang terkenal lurus itu mengungkapkan pengakuan mengejutkan bahwa pada tahun 2017 ia sempat diperintahkan Jokowi untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan ketua DPR RI saat itu, yakni Setya Novanto. Agus mengaku dipanggil ke Istana oleh presiden seorang diri. Pengakuan Agus kemudian dibenarkan oleh rekannya yang lain di KPK saat itu seperti Novel Baswedan dan wakil ketua KPK Alexander Marwata.

Soal isu itu, Jokowi sekali lagi berkelit. Ia seperti biasa “template” seperti kebanyakan orang jika sedang berbohong. Ia menyuruh media dan publik mengecek agenda resmi presiden ketika itu untuk melihat apakah ada agenda pemanggilan ketua KPK Agus Rahardjo (setelah dicek tidak ada agenda tersebut), padahal Agus Rahardjo bercerita bahwa panggilan Jokowi kala itu “tidak lazim”. Selain kita juga tahu, tidak semua kegiatan presiden diagendakan. Agus mengaku dipanggil seorang diri ke Istana untuk bertemu presiden, tak seperti biasanya. Sementara Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) yang menurut pengakuan Agus saat itu menemaninya atas perintah presiden, mengaku “lupa” soal kejadian tersebut saat diminta klarifikasi oleh insan pers. Akhirnya, Jokowi mempertanyakan untuk apa isu itu diramaikan, alih-alih menjawab “benar atau tidak”. Buat saya, dari semua mekanisme ini, Jokowi lagi-lagi memberi “pengakuan terbalik”.

Makin terang! Pengakuan Agus Rahardjo memberi persepsi bahwa Jokowi memang korup. Ia telah cawe-cawe sejak lama. Putusan MK kemarin bukan kali pertama ia mengacak-acak sistem bernegara yang rapi dan konstitusional. Putusan MK yang kontroversial itu bukan kali pertama ia memperlakukan negara seolah keluarganya sendiri dan rakyat yang berdaulat ini sebagai budak yang bisa diatur dan disuruh-suruh sesuka hati. Kamar-kamar kelembagaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang independen menyusut ke tangan eksekutif (presiden), tunduk pada satu orang hebat ini. Sementara kita tahu, roh demokrasi terletak pada prinsip pembatasan kekuasaan dan ketegasan distribusi kekuasaan melalui trias politica demi berjalannya sistem kontrol dan pengawasan supaya negara tidak jadi rumah tangga dan tata kelola kenegaraan tidak seperti arisan keluarga.

Tapi, syukur publik menjadi makin sadar dan geram karena merasa dilecehkan oleh praktik ugal-ugalan kekuasaan satu orang yang merasa diri tak bisa dilawan ini. Seminar dan mimbar bebas dibuka di mana-mana. Akademisi, seniman, aktivis, mahasiswa, tokoh budaya, dll mulai berani bicara keras-keras dan tak sembunyi-sembunyi. Jutaan video, meme, dan tulisan telah dilayangkan menanggapi keculasan pemerintah yang juga makin terang.

Tapi, bagaimana pun, “kekuasaan” bukan saingan remeh. Sehari lalu, seniman Butet Karteredjasa mengaku mendapat intimidasi dari polisi saat menggelar teater berjudul “Musuh Bebuyutan” di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat. Lakon itu mengisahkan kasak-kusuk di sebuah kampung akibat gesekan antara dua kubu yang dulunya sahabat dekat menjelang pergantian lurah. Butet diminta menandatangani pernyataan untuk tidak bicara politik dalam seni pertunjukan mereka itu. “Keren. Selamat datang Orde Baru,” kata Butet. Ini kali pertama polisi datangi komunitas bernama Indonesia Kita itu sejak 40 pentas yang sejauh ini sudah mereka selenggarakan.

Praktik intimidasi seperti ini memang mirip gaya represif Orde Baru. Polanya kentara. Pembungkaman dilakukan dengan memobilisasi aparat yang seharusnya adalah perangkat Rakyat yang berdaulat, bukan kacung keluarga. Berita soal dugaan intimidasi oleh aparat kepolisian itu langsung viral. Ramai.

Belum beranjak lama, dua hari lalu (05 Desember 2023), DPR mengesahkan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Revisi itu membuka peluang dimungkinkannya “penghilangan sementara akun media sosial” jika terbukti melanggar oleh pemerintah. Tidak hanya karet, peraturan ini terutama intimidatif. Gertakan bagi siapa pun yang bicara jujur dan telanjang. Tapi bukankah UU adalah produksi DPR? Mengapa menuduh presiden? Tentu UU itu produk legislatif, tetapi secara politis, dalam konteks pertarungan politik ini di mana pemerintah ikut cawe-cawe, itu hanya berarti bahwa DPR juga tunduk pada “pak lurah”.

Semua ini adalah alasan mengapa apa yang kita sebut “politik dinasti” itu buruk. Buruk sekali. Alasannya karena prinsip kesetaraan dan keadilan tidak jalan, persis karena persaingannya tidak seimbang. Kekuasaan bukan lawan seimbang pasangan calon lain di luar dukungan kekuasaan. Ketiga kontestan di pemilu nanti tidak memulai dari garis start yang sama. Itu mengapa ini tidak adil dan mesti dilawan. Gibran dan keluarga telah biasa melakukannya. Mereka pernah melakukannya di saat pemilihan Walikota Solo tahun 2020 silam di mana Jokowi melobi Megawati agar Gibran maju jadi Walikota Solo mengabaikan kader PDIP lain yang lebih siap dan terbina. Sekarang, praktik itu mau diulang lagi.

Praktik ini mungkin tidak melanggar hukum, sebab justru dibuatkan hukumnya. Tetapi, kita pun tahu, tidak semua yang legal dengan sendirinya benar. Dan praktik culas seperti ini makin berani dilakukan persis karena tak pernah ada resistensi berarti dari masyarakat. Kebanyakan orang silau dengan “blusukan” dangkal khas keluarga Jokowi, tapi tidak substantif. Jangan-jangan orang makin kagum dengan kunjungan Jokowi ke NTT untuk peresmian gedung baru Katedral Keuskupan Agung Kupang kemarin yang dibiayai penuh oleh Kemenpupr. Jokowi memang pandai memainkan kontradiksi dan dilema. Tapi, jika kita terus kompromi, demokrasi akan bangkrut dan semua dalam bahaya. Indonesia bukan republik mainan.

You may also like

Leave a Comment

TENTANG KAMI

MEDIA NUCA berfokus pada isu-isu politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Media ini bertujuan untuk menyajikan informasi yang relevan dan berimbang dari tingkat internasional, nasional, hingga tingkat lokal.

Feature Posts