MEDIA NUCA – Dalam sidang lanjutan perkara PHPU di MK pada Selasa (2/4/2024) terjadi perdebatan antara salah satu kuasa hukum pihak termohon, Hotman Paris Hutapea, dengan saksi Ahli yang dihadirkan kuasa hukum pihak pemohon, yakni Guru Besar Emeritus Filsafat Moral, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ atau Romo Magnis.
Dalam memberi keterangannya sebagai Ahli, Romo Magnis menyinggung aspek-aspek moral berat apa saja yang bisa muncul jika pelanggaran seperti diajukan oleh pihak pemohon dalam sidang sengketa hasil pemilu itu betul-betul terjadi.
“Berikut ini saya mau memaparkan bahwa dalam kaitan dengan pemilihan umum Februari lalu yang disingkat Pemilu, ada unsur-unsur yang ‘kalau betul-betul terjadi’ merupakan pelanggaran-pelanggaran etika yang serius, serta apa implikasi pelanggaran-pelanggaran itu,” jelas Romo Magnis membacakan teks keterangannya sebagai saksi Ahli.
Salah satu pelanggaran etika berat yang bila benar-benar terjadi seperti dituduhkan oleh pihak pemohon menurut Romo Magnis adalah kesan bahwa presiden memakai kekuasaannya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu dan bukan untuk seluruh warga negara.
“Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan sebuah organisasi mafia,” tegas Romo Magnis.
Hal itu dikatakan Romo Magnis dengan alasan bahwa sebagai kepala negara yang padanya bergantung hidup dan mati seseorang, dari seorang presiden dituntut standar etika yang khusus. Presiden harus menunjukkan kesadaran bahwa yang menjadi tanggung jawabnya adalah keselamatan seluruh bangsa. Sebaliknya, kesan bahwa presiden memakai kekuasaannya demi keuntungan dirinya sendiri atau keluarganya adalah fatal secara etis.
Negara hukum dalam situasi seperti itu menurut Romo Magnis akan merosot menjadi negara kekuasaan dan mirip dengan wilayah kekuasaan sebuah mafia.
Dari sana Romo bertolak pada pelanggaran-pelanggaran etika berat dalam pelaksanaan pemilu 14 Februari 2024 lalu. Salah satu dari lima poin yang disampaikan Romo Magnis ialah soal Bansos (poin ke-4).
Menurut penerima bintang kehormatan mahaputera utama itu, tindakan presiden mengambil alih begitu saja wewenang Kementerian Sosial untuk membagi-bagikan Bantuan Sosial (Bansos) demi kepentingan kampanye pemenangan paslon tertentu adalah mirip pencurian.
“Bansos bukan milik presiden, melainkan milik bangsa Indonesia yang pembagiannya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan dan ada aturan pembagiannya. Kalau presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil Bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi, itu pencurian, ya pelanggaran etika,” terang Romo Magnis.
Hal itu juga menurut Magnis menunjukkan bahwa ia (presiden) telah kehilangan wawasan kepresidenan bahwa kekuasaan yang ia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani seluruh masyarakat.
Kuasa hukum termohon, Hotman Paris Hutapea, persis mempersoalkan pernyataan Romo Magnis perihal pelanggaran yang dilakukan Presiden dalam pembagian Bansos. Menurut Hotman, Romo Magnis harus berbicara atas dasar bukti bahwa Presiden telah melanggar aturan soal Bansos.
“Tadi Romo mengatakan bahwa presiden seperti pencuri di kantor, mengambil duit, dibagi-bagikan. Presiden mengambil uang Bansos untuk dibagi-bagikan. Apakah Romo mengetahui bahwa Bansos yang dibagikan itu sudah ada datanya berdasarkan DTKS, yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial? Presiden hanya simbolik di awal membagikan Bansos sesuai dengan data di kementerian masing-masing. Jadi, Presiden tidak pernah membagikan bansos di luar data yang sudah ada. Dari mana pak Romo tahu bahwa presiden itu seolah mencuri dari uang bansos untuk dibagi-bagikan?” tanya Hotman yang dipotong Hakim.
Pertanyaan panjang Hotman yang dipotong hakim ketua itu lalu dijawab Romo Magnis dengan mengatakan bahwa ia mendekati isu Bansos itu dari segi teoretis bahwa secara prinsip, jika hal itu benar-benar dilakukan Presiden, maka ia seperti seorang pencuri.
“Mengenai Bansos, saya tidak mengatakan apa pun tentang yang dilakukan presiden Jokowi. Saya mengatakan, kalau seorang presiden, yang sebetulnya tidak mengurus langsung kementerian, mengambil bansos yang sudah disediakan di situ untuk kepentingan politiknya, maka itu pencurian. Apakah itu terjadi di Indonesia, itu bukan urusan saya. Saya bukan ahli mengenai hal-hal itu. Saya hanya melihat kasus secara teoretis,” tegas Magnis.