Home ยป Diskusi Sosial-Politik STF Driyarkara: Hukum Tidak Cukup, Perlu Kepatuhan terhadap Hukum

Diskusi Sosial-Politik STF Driyarkara: Hukum Tidak Cukup, Perlu Kepatuhan terhadap Hukum

by Media Nuca

MEDIA NUCA โ€“ Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) bersama Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) sukses menggelar diskusi sosial politik pada hari, Jumโ€™at (10/11/2023) lalu di Aula STF Driyarkara, Jakarta.

Diskusi dengan judul โ€œSenja Kala Demokrasi Indonesiaโ€ itu digelar secara hybrid dengan ratusan peserta yang hadir.

Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut adalah Dosen Filsafat Moral STFD, Dr. Dwi Kristanto, wakil Ketua IKAD Arif Susanto, Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, dan Mahasiswi STFD Aida Pincessa Leonardo.

Didaulat sebagai pembicara pertama, Arif Susanto membeberkan alasan-alasan kemerosotan Demokrasi. Ia memulai pemaparannya dengan melempar satire.

โ€œSaya minta menjelaskan sambil berdiri saja ya, soalnya kalau kelamaan duduk nanti lupa berdiri,โ€ seloroh Arif.

Arif menyebut bahwa kemerosotan demokrasi bukan peristiwa kemarin, melainkan sesuatu yang sudah terjadi lama, tetapi luput dariย perhatianย kita. Mencoba mendudukkan masalah itu dengan lebih seimbang, Arif menyebut bahwa masalah tersebut sebagian adalah sumbangan kita, tidak sepenuhnya faktor elite yang korup.

Menurut Arif, gerak kembali ke โ€œotoritarianismeโ€ juga tidak baru. Kita pernah mengalaminya. Dan saat ini gejala itu kembali timbul yang ditunjukkan dengan membengkaknya kekuasaan eksekutif (presiden).

Ia lantas berpendapat bahwa jika mau menyelamatkan demokrasi, memilih pemimpin yang baik atau yang kurang buruk saja tidak cukup, tetapi juga bahwa kita mesti terus melakukan pengawasan sebab yang baik bisa jadi buruk karena kekuasaan.

Moderator lalu melempar kesempatan kepada pembicara kedua, Dr. Dwi Kristanto untuk memaparkan materinya.

Lulusan Pontificia Universitร  Gregoriana, Roma dan pembaca serius etika Thomas Aquinas ini langsung meluruskan tema yang disiapkan panitia.

Romo Dwi kurang setuju dengan frasa โ€œSenja Kalaโ€.

โ€œSenja kala, puitis tetapi justru itu bisa berbahaya. Setelah senja ada malam, dan setelah malam ada pagi, sinar pun bisa terbit kembali. Istilah senja di sini bisa meninabobokan kita, sebab kita duduk-duduk saja, kita tidur saja, tanpa berbuat apa-apa sinar itu dengan sendirinya akan datang lagi, padahal demokrasi tidak pernah taken for granted, never!โ€ ungkap Romo Dwi.

Ia lalu mengusulkan agar frasa โ€œsenja kalaโ€ diganti menjadi โ€œgerhana demokrasiโ€ merujuk pada mitologi Jawa.

โ€œMungkin istilah gerhana lebih tepat. Dalam kebudayaan Jawa dulu, ketika terjadi gerhana Matahari, dipercaya bahwa Matahari sedang dicaplok oleh raksasa besar nan jahat bernama Betara Kala. Apa yang dilakukan orang Jawa? Mereka tidak diam saja. Tetapi berinisiatif memukul-mukul kentongan. Satu mulai memukul, lalu tetangganya, tetangganya lagi dan seluruh kampung memukul-mukul kentongan. Maksudnya ialah untuk menakut-nakuti raksasa jahat itu, sehingga segera melepaskan sang matahari.โ€

Romo Dwi mengibaratkan situasi politik kita akhir-akhir ini seperti gerhana matahari itu dan kita diundang untuk memukul kentongan seperti yang dilakukan oleh STF Driyarkara melalui acara diskusi tersebut.

โ€œBisa dibaratkan demokrasi kita ini seperti matahari yang hendak dicaplok oleh raksasa jahat, oleh suatu kekuasaan yang besar. Kita, khususnya kaum muda, sebaiknya tidak tidur, tetapi tetap berjaga dan memukul-mukul kentongan. Diskusi yang kita lakukan sore ini, ibarat tindakan memukul kentongan itu, membuat kita terjaga dan untuk menakut-nakuti raksasa, yaitu pihak yang besar dan berkuasa agar mengurungkan niatnya menelan demokrasi kita. Semoga kaum muda dari kampus lain pun ikut memukul kentongan sebagai tanda bahwa demokrasi kita dalam bahaya ditelan suatu kekuasaan yang besar,โ€ katanya.

Selanjutnya, Romo Dwi mengutip Aristoteles menegaskan pentingnya pengorganisasian jabatan publik dilakukan secara terbuka dan fair dan pembatasan jabatan hal yang menurutnya merupakan salah satu esensi demokrasi yang belakangan ini dilecehkan, lewat drama di MK yang semua kita sudah ikuti beritanya.

Romo Dwi menegaskan ia sendiri tidak anti atau tidak ragu kepada kemampuan anak muda. Mereka boleh menjadi memimpin, asal kompeten.

Konsep terakhir yang ia tekankan ialah bahwa demokrasi merupakan satu telic concept. Dalam demokrasi kekuasaan dijalankan dalam koridor hukum (The rule of law). Maka unsur penting lain dalam demokrasi yang sering luput ialah โ€œketaatanโ€ pada hukum.

Demokrasi tidak akan terwujud bila hukum-hukum yang ada tidak dipatuhi, bila aturan main tidak dindahkan, atau dimanipulasi secara culas seperti yang kita saksikan akhir-akhir

Hanya dalam demokrasi yang menghormati hukum, โ€œwarga yang paling unggul, paling kompeten, paling baik, paling berkeutamaan dapat menduduki posisi tertinggiโ€.

Jadi, tidak cukup ada konstitusi dan hukum saja. Tidak cukup trias politica. Perlu ada kepatuhan pada aturan main tersebut. Demokrasi akhirnya bukan perkara konstitusi dan hukum-hukum serta institusi-institusinya, tetapi juga perkara watak (ethos) dan juga budaya.

Selanjutnya, perwakilan mahasiswa, Aida Princessa Leonardo mengangkat soal narasi yang sekarang sering sekali dikemukakan oleh pihak Gibran, yaitu narasi bahwa putusan no. 90 MK ini memberi kesempatan kepada anak muda untuk berkontestasi dalam pemilu.

โ€œMenurut saya ini tidak benar, karena kita tahu bahwa penetapan batas umur capres/cawapres berada di bawah naungan legislatif/DPR. Jadi kalau memang putusan ini dibuat demi kepentingan anak muda Indonesia, kenapa tidak diubah di DPR? Tetapi kalau benar putusan ini dibawa dan diputuskan di MK secara cepat dan tiba-tiba, ini menunjukkan adanya tujuan spesifik dari putusan ini yang tidak ada hubungannya sama kepentingan anak muda Indonesia secara umum,โ€ tegas Aida.

Lebih lanjut, Aida membidik cacat logika yang berkembang dalam percakapan politik hari-hari ini. Menurut Aida, beberapa ungkapan tanpa kita sadari sebetulnya โ€œsesat pikirโ€ misalnya narasi dari pihak Gibran yang mengatakan bahwa Gibran adalah representasi anak muda.

โ€œJadi, kalau kita gak dukung Gibran, tandanya kita bukan anak muda,โ€ kata Aida. Padahal menurut dia, kita perlu meluruskan dulu siapa itu anak muda sebetulnya untuk menguji apakah Gibran betul-betul representatif terhadap kelompok tersebut.

Menurut Aida, anak muda itu beragam, dari segi pekerjaan, perjuangan, dan sebagainya.

โ€œTentu kalau mau digambarkan, kita tu sangat beragam ya. Dari yang kerja kantoran di Jakarta, macet, naik bus way, ada yang sudah menikah, punya kebutuhan ekonomi yang banyak, ada yang kuliah, ada yang tidak bisa kuliah, jadi pelayan, sopir, satpam dan sebagainyaโ€.

โ€œApa pun itu, kita punya challenge yang sangat berat bung. Untuk mendapat pekerjaan kita tidak hanya harus bersaing dengan sesama anak bangsa, tetapi juga dengan orang-orang dari mancanegara, bahkan dengan AI. Untuk jadi PNS, Untuk dapat beasiswa kita tidak cukup pintar, IPK bagus, tetapi juga harus ada pengalaman, kontribusi, ide-ide cemerlang,โ€ kata Aida.

Karena itu, menurut Aida, untuk sintas (survive) di pasar kerja (job market), kita dipaksa dan didorong untuk memperluas kemampuan kita. Dengan semua โ€œsyaratโ€ untuk menjadi representasi anak muda itu, Aida menolak bahwa Gibran adalah perwakilan anak muda karena Gibran belum membuktikan bahwa dia memperoleh apa yang ia peroleh sampai saat ini berdasarkan โ€˜kemampuanโ€™ (merit).

Aida mengatakan bahwa ia tidak bermaksud mengatakan bahwa Gibran tidak punya โ€˜kemampuanโ€™, tetapi mendorongnya untuk membuktikan kemampuannya dengan menolak โ€œjalur cepatโ€ langkah politiknya dengan beking penuh kekuasaan.

โ€œTentu tidak, tetapi jika ia ingin membuktikan merit-nya dan menjadi representasi yang dapat dipercaya oleh anak muda, seharusnya ia tidak mengambil kesempatan kemarin untuk mempercepat prosesnya, untuk melompati hukum,โ€ tegas Aida.

Terakhir, Ray Rangkuti menekankan pentingnya wacana etis di lingkungan hukum di Indonesia. Menurut dia, kita tidak kekurangan pasal dalam UU Pemilu, Bawaslu, Panwaslu, dan seterusnya, tetapi selalu berhenti di tataran legal. Padahal pendekatan legalis menurutnya tidak membawa diskusi ke inti masalah sebab hanya soal boleh-tidak boleh, bukan soal baik-buruk.

โ€œBangsa ini oleh para pendiri bangsa dikatakan mesti dibangun tidak hanya raganya, tetapi juga jiwanya,โ€ kata Ray.

Manurutnya, kita tidak boleh hanya memperhatikan aspek fisik, hukum dan pembangunan, tetapi juga nilai, kepatuhan, etos dan sebagainya yang merupakan jiwa yang menghidupi raga negara ini.

You may also like

Leave a Comment

TENTANG KAMI

MEDIA NUCA berfokus pada isu-isu politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Media ini bertujuan untuk menyajikan informasi yang relevan dan berimbang dari tingkat internasional, nasional, hingga tingkat lokal.

Feature Posts