MEDIA NUCA – Media asing terus menyoroti situasi perpolitikan Indonesia jelang pilpres pada Februari 2024 mendatang.
The Economist terbaru, pada Kamis (01/02/2024) menerbitkan artikel perihal peran media sosial TikTok yang dianggap telah menjadi medan utama persaingan meraup dukungan para paslon capres/cawapres di Indonesia.
Hal itu terjadi karena TikTok menjadikan pemilu hanya sekedar meme, lagu, dan tarian, kata Rustika Herlambang, pakar media sosial di Indonesia Indicator, sebuah lembaga konsultan. TikTok membuat politik menjadi persoalan daya tarik kepribadian belaka, ketimbang kebijakan.
Menurut amatan media Internasional tersebut media sosial TikTok dibanjiri dengan video-video mantan jenderal gemuk itu menari dengan sangat buruk. Sayangnya, pengguna internet muda, yang sebagian besar tidak tahu atau tidak peduli dengan masa lalunya, tampaknya menganggap mereka lucu.
Ini bukanlah hal yang sepele menurut The Economist. Pasalnya lebih dari separuh dari 204 juta pemilih di Indonesia adalah generasi milenial atau lebih muda, dan Prabowo sangat populer di kalangan mereka.
Ditambah kenyataan bahwa hampir empat perlima penduduk Indonesia memiliki ponsel pintar, sehingga para politisi dapat menjangkau bahkan mereka yang berada di wilayah paling terpencil dari 13.000 pulau berpenghuni yang merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Selain negara dengan pengguna ponsel pintar tinggi, Indonesia juga merupakan pengguna TikTok terbanyak dibandingkan negara mana pun, kecuali Amerika. Rata-rata pengguna melakukan scrolling selama 29 jam sebulan, menjadikannya salah satu platform media sosial paling populer di Indonesia.
Bertolak dari kenyataan itu, TikTok dianggap media sosial paling berpengaruh sebagai tempat para politisi bersaing untuk mendapatkan suara dari generasi muda, terutama bagi pasangan Prabowo-Gibran.
Perihal fenomena kampanye “gimmick” yang tidak substantif ini, kandidat pesaing seperti Ganjar Pranowo dari kubu 03, prihatin bahwa ternyata pemilih muda kurang tertarik membahas kebijakan, malah “lebih menyukai gimmick” yang viral di media sosial.
Selain “gimmick”, popularitas juga diperoleh menggunakan trik rendah lainnya, yaitu membayar individu untuk memuji politisi secara online dan mengecam pesaingnya, telah umum dilakukan di TikTok dan sulit diawasi.
Peretasan media sosial semacam ini dikenal di Indonesia sebagai “buzzer” dan diduga digunakan dalam semua kampanye.
Umumnya para buzzer adalah orang muda dan terpelajar, yang mengoperasikan beberapa ratus akun media sosial palsu, kata Wija Wijayanto dari Universitas Diponegoro di Jawa, pulau terpadat di Indonesia.
Gaji seorang buzzer mungkin mulai dari beberapa ratus dolar sebulan, namun bisa lebih dari itu. Terkait cara kerja itu, kubu 02 dianggap lebih bisa melakukannya secara massif sebab tim kampanye Prabowo diperkirakan memiliki dana hingga 30 kali lebih banyak dibandingkan dua pasangan pesaingnya.