MEDIA NUCA โ Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) telah melaporkan Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dalam pencabutan ribuan izin tambang sejak 2021-2023.
Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, secara resmi mengonfirmasi laporan tersebut kepada media setelah pertemuan di Gedung Merah Putih KPK di Jakarta pada Selasa (19/3/2024).
Dalam pernyataannya, Melky Nahar menyatakan bahwa JATAM telah menyampaikan dugaan praktik korupsi yang dilakukan oleh Bahlil Lahadalia terkait pencabutan ribuan izin tambang selama periode tersebut.
Menurutnya, laporan tersebut sangat penting agar KPK dapat mengungkap pola-pola yang mungkin digunakan oleh pejabat negara, khususnya Menteri Bahlil, dalam proses pencabutan izin tambang yang telah menimbulkan kontroversi.
Melky juga menyoroti peran Presiden Jokowi dalam memberikan kuasa besar kepada Bahlil melalui beberapa regulasi, seperti Keppres 11/2021 tentang Satgas Percepatan Investasi, Keppres 1/2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi, dan Perpres 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.
Melalui regulasi tersebut, Bahlil diberi wewenang untuk mencabut izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan kemudahan kepada berbagai pihak untuk mendapatkan lahan/konsesi.
Menurut JATAM, pencabutan izin yang dilakukan oleh Bahlil terkesan bias dan diduga penuh dengan praktik transaksional.
Mereka menduga bahwa tindakan ini dapat menguntungkan pihak terkait, termasuk dirinya sendiri, kelompok tertentu, atau badan usaha lainnya.
Melky juga menyoroti kemungkinan adanya tarif tertentu yang dipatok kepada perusahaan yang ingin memulihkan izin mereka.
Untuk mendukung laporan tersebut, JATAM juga menyertakan beberapa alat bukti, termasuk daftar sumbangan dana kampanye Pilpres 2019 yang terhubung dengan Bahlil.
Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil, menegaskan pentingnya KPK untuk menginvestigasi hal ini lebih lanjut, terutama terkait hubungan antara sumbangan dana kampanye dan tindakan pencabutan izin tambang.
Mereka berharap bahwa laporan ini dapat membuka mata publik terhadap praktik korupsi yang mungkin terjadi di dalam proses kebijakan pemerintah terkait sektor tambang.(AD)