MEDIA NUCA – Jelang lengser dari kursi kepresidenan pada Oktober nanti, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Dzikir dan Doa Kebangsaan di halaman Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (1/8/2024) menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahannya selama menjalankan amanah rakyat sebagai Presiden Republik Indonesia selama satu dekade terakhir.
Di hadapan ribuan undangan dalam acara pembukaan rangkaian kegiatan Bulan Kemerdekaan jelang HUT ke-79 RI tersebut, Jokowi menyebut bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang juga bisa salah dan khilaf.
“Izinkanlah saya dan Profesor K.H. Ma’ruf Amin ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini, khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia dan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia,” kata Jokowi.
Menimpali permohonan maafnya sendiri, Jokowi menyebut bahwa dirinya tidak mungkin dapat menyenangkan semua pihak. Presiden dan wakil presiden tidak mungkin memenuhi harapan semua pihak.
“Saya tidak sempurna, saya manusia biasa, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Hanya milik Allah, Kerajaan Langit dan Bumi serta apapun yang ada di dalamnya. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,” lanjutnya.
Menanggapi permohonan maaf presiden tersebut, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus menilai gestur politik presiden tersebut sulit dipercaya, bisa jadi Jokowi lagi-lagi hanya sedang bersandiwara untuk mendapatkan simpati rakyat.
“Kalau merujuk data dan kebiasan beliau, Pak Jokowi selalu mengatakan hal yang bertentangan atau tidak sinkron dengan perasaan, pikiran, dan tindakannya.”
“Jadi, saya enggak tahu kali ini dia tulus atau tidak. Jangan-jangan dia sedang bersandiwara untuk mencari simpati, bukan tulus meminta maaf,” kata Deddy kepada wartawan, Jumat (2/8/2024).
Sitorus menyangsikan ketulusan permintaan maaf Jokowi tersebut sebab menurutnya, jika presiden benar-benar ingin meminta maaf, ia mesti memperbaiki kerusakan semua lembaga dan unsur-unsur demokratis yang telah rusak di sisa masa jabatannya.
“Jangan omon-omon saja. Batalkan itu usulan (menghidupkan kembali) DPA (Dewan Pertimbangan Agung), pasal-pasal yang berpotensi merusak tatanan dalam revisi UU TNI-POLRI,” tegas Deddy.
“Kalau hal-hal itu dilakukan baru kita belajar percaya kalau beliau serius minta maaf pada rakyat. Jujur saja, lima tahun rezim Jokowi itu daya rusaknya terhadap hukum dan demokrasi melampaui 32 tahun kekuasaan Orde Baru,” tandasnya.