MEDIA NUCA – TEMPO baru-baru menulis surat imajiner bertolak dari realitas politik nasib sebuah partai kecil bernama Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan seorang komedian Alfiansyah Bustami Komeng (Komeng) dalam pertarungan memenangkan hati pemilih di pemilu 2024.
Surat imajiner tersebut berisi sindiran langsung kepada Wakil Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie dkk. yang gagal menghantar partainya ke Senayan meski menyusu kepada kekuasaan.
Dalam surat imajiner tersebut, TEMPO mengimajinasikan posisi Grace Natalie dkk di mata komeng yang meskipun telah menghalalkan segala cara, namun tetap gagal membawa PSI melampaui ambang batas perolehan suara (Parliamentary threshold) 4% untuk lolos ke Senayan.
Pada kenyataannya, berdasarkan hasil hitung cepat (Quick Count) pemilu 2024, PSI memang terpuruk di angka 2,9% perolehan suara nasional meskipun segala cara telah dilakukan mulai dari mengemis pengaruh Jokowi dengan mengangkat Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum partai sampai “menjilat ludah” sendiri dengan mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024, tokoh yang sebelumnya mereka kritik.
Perolehan suara PSI itu tertinggal jauh dibandingkan dengan perolehan suara Komeng seorang sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Jawa Barat yang mencapai 1,5 juta suara.
Berikut salinan lengkap surat imajiner Komeng kepada pengurus Grace Natalie dkk yang ditulis TEMPO.
Sis Grace Natalie dan kawan-kavan Partai Solidaritas Indonesia. Mohon maaf atas kelancangan saya menulis surat ini. Saya bukan politikus. Saya komedian.
Tanggal 14 Februari 2024 mungkin bakal menjadi hari yang bersejarah bagi saya. Berdasarkan hitungan Komisi Pemilihan Umum, hingga hari ketiga setelah pemilu, saya mendapat hampir 1,5 juta suara -tertinggi untuk daerah pemilihan Jawa Barat.
Tak lama lagi, insyaallah, saya akan jadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Saya enggak punya program muluk-muluk. Saya cuma ingin 27 September ditetapkan menjadi Hari Komedi Nasional. Dasarnya adalah hari kelahiran pelawak Bing Slamet. Selama ini kan sudah ada Hari Guru, Hari Musik, Hari Puisi – selain Harry Moekti dan Harry Potter.
Satu yang membuat saya bangga, untuk menjadi senator, saya tidak pernah mencari beking. Saya tidak pernah mengemis suara. Saya enggak mendukung Presiden dipilih kembali setelah dua periode berkuasa. Saya tidak mendirikan partai apalagi menjualnya kepada pemodal. Saya tidak merengek kepada Presiden agar anaknya dizinkan menjadi ketua partai saya.
Saya enggak pernah berkampanye, foto saya tidak terpampang di pinggir jalan dan pohon pelindung. Orang-orang kabarnya memilih saya karena di kertas suara tampang saya lucu. Syukur alhamdulillah, saya sudah dikenal sebagai pelawak.
Saya pernah meminta kawan- kawan membagikan foto saya kepada calon pemilih. Eh, mereka malah mencetak pasfoto 3X4. Foto kecil begitu, mana ada yang perhatiin. Karena itu, saya iri melihat foto calon legislator PSI tersebar sampai pelosok: cakep, rapi, seragam.
Di jalan pantai utara Jawa, spanduk kalian bererot. Di kampung-kampung sampai ke Indonesia timur, partai Sis Grace dijajakan. Saya enggak tahu berapa biaya mencetak spanduk segitu banyak. Saya enggak tahu siapa yang memasang dan siapa yang membiayai. Saya enggak mau ikut-ikutan gibah: ada campur tangan aparat negara membantu logistik PSI.
Ketika didirikan pada 2014, PSI punya cita-cita mulia: menggalang politik yang dilandasi solidaritas untuk kemanusiaan. Dibangun oleh anak muda, partai Sis penuh semangat. Panggilan “sis” dan “bro” kepada sesama pengurus partai mengingatkan saya pada zaman engkong saya dulu: saling memanggil “bung” sebagai tanda kesetaraan.
Tapi, dalam mencari pemimpin, PSI mendadak jadi tua. Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, kalian terima jadi ketua partai tanpa proses merit. Hanya partai Orde Baru yang ketuanya didrop dari atas. Ya, ampun, Sis, jadi Ketua Karang Taruna aja harus berbulan-bulan dulu jadi anggota.
Dipimpin Kaesang, yang melanjutkan kepemimpinan Sis Grace di PSI, mendapat banyak keistimewaan. Spanduk bergambar foto Presiden dan Mas Kaesang adalah jaminan dilirik orang lewat. Dengan tingkat kepuasan yang tinggi kepada Jokowi, partai Sis semestinya banyak dipilih. Meski begitu, dalam hitung cepat sejumlah lembaga survei, tingkat keterpilihan PSI baru 2,9 persen. Padahal, untuk masuk Senayan, partai minimal harus mendapat 4 persen suara nasional.
Saya enggak pernah dengar PSI bersuara lantang menentang ambang batas yang tinggi ini.
Mungkin partai Sis minder. Bisa juga kelewat pede. Elite PSI menyatakan mampu melampaui ambang batas. Saya doakan berhasil. Saya enggak sabar bertemu dengan Sis dan kawan-kawan di Senayan. Tapi, jika nanti PSI tidak lolos, setidaknya kita bisa ngopi bareng di Patal Senayan. Uhuy!