Home » F. Budi Hardiman Tanggapi Kritik Rocky terhadap Jokowi: Beri Dia Waktu Menyadari Kesalahannya!

F. Budi Hardiman Tanggapi Kritik Rocky terhadap Jokowi: Beri Dia Waktu Menyadari Kesalahannya!

by Media Nuca

MEDIA NUCA – Fransisco Budi Hardiman, Profesor filsafat Universitas Pelita Harapan dalam wawancara eksklusif dengan KOMPASTV pada 14 Agustus 2023 lalu memberi tanggapannya terhadap kritik Rocky Gerung kepada presiden Jokowidodo yang menuai polemik dengan tuduhan penghinaan presiden.

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu pertama-tama mencoba mendudukkan masalah ini dalam arena demokrasi. Menurut Franky (begitu ia akrab disapa), inti demokrasi ialah komunikasi. Dan komunikasi memiliki banyak ragam dan wilayahnya.

“Demokrasi itu intinya adalah komunikasi, dan komunikasi itu mempunyai banyak ragam dan banyak ranah. Ada sistem politik, misalnya Trias politica. Itu adalah negara, negara hukum, birokrasi. Tetapi ada juga civil society, yaitu kultur ada di sana, masyarakat ada di sana, ekonomi ada di sana. Nah, bagaimana dua hal ini saling berkorelasi, bersinergi untuk membangun sebuah masyarakat demokratis dan negara demokratis,” jelas Budi.

Dalam konteks itu, ia menyebut kritik adalah hal yang wajar dan justru didorong.

“Kritik adalah bagian yang wajar dan bahkan didorong dalam berdemokrasi,” tegas Budi.

Bertolak ke kasus Rocky Gerung, Budi menilai bahwa Rocky kerap berbicara atas nama rasionalitas, tetapi sesungguhnya bertentangan dengan rasionalitas.

“Rocky Gerung kerap berbicara atas nama rasionalitas, tetapi dia menggunakan terminologi-terminologi dan memakai konsep-konsep yang sifatnya provokatif, kasar, dan ini bertentangan dengan rasionalitas,” pungkasnya.

Profesor filsafat pentolan Hochschule für Philosophie, München ini lantas menilai Rocky telah dengan sengaja melakukan ‘sesat pikir’ (logical fallacy) jenis agumentum ad hominem (menyerang pribadi), yang merupakan satu teknik filsafat yang disebut sofisme atau praktik demagogi dengan tujuan menarik perhatian publik.

“Banyak hal yang dibicarakan di dalam tradisi filsafat, khususnya logika dan teknik berargumentasi yang disebut sofisme, atau istilah kita yang lebih dikenal, demagogi. Demagogi dipakai untuk menarik perhatian publik. Salah satu alat untuk menarik perhatian publik itu adalah suatu kesesatan berpikir yang disebut argumentum ad hominem. Dia (RG) melakukan argumentum ad hominem karena sasarannya adalah orangnya,” tandas Budi.

Pembaca serius Jürgen Habermas ini menolak pembelaan Rocky perihal distingsi fungsi publik presiden dan jokowi sebagai person/pribadi dalam konteks perkataan kasar tersebut. Ia menilai Rocky hanya sedang mencoba berkelit saja.

“Pada frase perkataan kasar itu, itu diserang dua hal: fungsi publik dan person-nya. Kalau Saudara Rocky Gerung mencoba untuk membedakan fungsi dan person-nya, itu hanya ada dalam kepala dia, tetapi tidak ada dalam kepala masyarakat yang mendengarkan, dan tidak ada dalam kepala siapa pun,” pungkas Budi.

Ia juga menilai bahwa ucapan kasar itu menjurus pada pribadi seseorang karena dalam kenyataan tidak ada presiden pada umumnya.

“Dalam kenyataan tidak ada presiden pada umumnya. Yang ada adalah presiden tertentu dan hari ini namanya, Jokowi,” tandasnya.

Mengenai pembedaan yang dibuat Rocky perihal Presiden sebagai fungsi publik dan Jokowi sebagai pribadi, Budi menilai bahwa cara semacam itu ialah teknik untuk mengelak yang dipelajari dalam demagogi.

Meskipun demikian, perihal apakah perbuatan Rocky sepenuhnya keliru, Budi tegas mengatakan bahwa apa yang dilakukan Rocky tidak sepenuhnya keliru. Ia justru dalam arti tertentu sepakat dengan Rocky.

“Tidak, kritik yang diberikannya tentu berguna untuk check and balances dalam demokrasi. Negatifnya karena frase yang dipakai, kasar. Saya dalam hal ini setuju. Dia adalah seorang yang sedikit banyak mau mengganggu kenyamanan kita dalam struktur kultural feodal di Indonesia. Dia mau menggoyang struktur feodal itu dengan argumen-argumen yang sifatnya mendukung kesetaraan,” tegas Budi.

Budi mengakui, dalam rangka perjuangan itu, Rocky memang mengambil langkah ekstrem. Akan tetapi, menurut Budi, memperjuangkan kesetaraan tidak perlu mengorbankan satu unsur penting demokrasi lain, yakni respect.

“Ekstrem memang, tetapi kesetaraan itu penting untuk demokrasi. Dalam demokrasi dibutuhkan kesetaraan, kebebasan, nah satu lagi yang tidak kalah penting, itu adalah respect. Kesetaraan tanpa respect itu sama seperti kebebasan tanpa respect, akan menghasilkan chaos, ” tandasnya.

Menurut Budi, respect itu penting dan diarahkan pada dua hal, yakni fungsi publik dan person di belakang fungsi itu. Jika keduanya dipisahkan, menurut Budi kita tidak sedang respect, melainkan memanipulasi fungsi itu untuk kepentingan kita.

“Pada hemat saya, respect tetap penting diarahkan pada dua hal: fungsi publik, bukan hanya presiden, tetapi semua petugas publik. Sebaliknya semua pelayan publik harus memberikan respect kepada kita sebagai client-nya. Kedua, respect juga diarahkan pada person di belakang fungsi itu. Kalau dipisahkan, sebetulnya kita tidak sedang respect, melainkan memanipulasi fungsi itu untuk kepentingan kita,” terang Budi.

Penulis buku Demokrasi Deliberatif  ini lantas menilai “ucapan kasar” Rocky Gerung tidak selayaknya dan tidak berguna.

“Tidak, tidak selayaknya dan tidak berguna mengatakan hal-hal itu. Itu adalah hal yang sia-sia,” tegas Budi.

Meskipun demikian, Budi menolak menyebut itu sebagai kasus etis, melainkan pelanggaran etiket saja. Etika dan etiket (sopan-santun) adalah dua wilayah berbeda. Orang yang tidak sopan, belum tentu mutu etisnya buruk.

“Saya tidak ingin mengatakan bahwa itu kasus etis, tapi etiket, sopan santun, tata krama. Orang yang tidak sopan atau melanggar sopan santun belum tentu orang yang jahat secara moral. Dia memang melanggar sopan santun, dia memang menjadi kontraproduktif dengan kritiknya, tetapi tidak berarti bahwa Rocky Gerung itu orang jahat secara moral. Itu dua hal berbeda,” tambah Budi.

Perihal langkah hukum yang diambil terhadap Rocky Gerung dalam kasus ini, Budi menyarankan agar Rocky diberi waktu untuk menyadari kesalahannya. Tetapi, apabila untuk menyadarkannya perlu langkah hukum, maka langkah hukum bisa diambil.

“Beri waktulah kepada saudara Rocky Gerung untuk menyadari kesalahan dalam pemakaian kata-kata. Itu lebih produktif untuk mengubah seseorang daripada diberi kerangkeng hukum. Tetapi kalau yang bersangkutan hanya bisa sadar dengan hukum, ya bantulah dia bisa sadar dengan hukum juga,” tegas Budi.

You may also like

Leave a Comment

TENTANG KAMI

MEDIA NUCA berfokus pada isu-isu politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Media ini bertujuan untuk menyajikan informasi yang relevan dan berimbang dari tingkat internasional, nasional, hingga tingkat lokal.

Feature Posts