Maumere, MEDIA NUCA – Persoalan sengketa tanah di kawasan HGU Nangahale yang melibatkan PT Krisrama kembali menjadi sorotan. Pater Yoseph Kusi, SVD, yang sebelumnya mengalami ancaman fisik terkait masalah ini, memberikan klarifikasi melalui tulisan yang tersebar di berbagai media.
Ia menegaskan bahwa PT Krisrama sudah sah secara hukum dan taat kepada pemerintah. Dalam tulisannya, Pater Yoseph bertanya, “HAM mana yang dilanggar?” menyusul tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditujukan kepada perusahaan tersebut.
Menurut Pater Yoseph, pihak-pihak yang menamakan diri sebagai pembela HAM seharusnya tidak terburu-buru membuat framing terkait peristiwa yang sebenarnya jauh lebih kompleks. Ia menegaskan bahwa PT Krisrama sudah membayar pajak dan telah memperoleh hak resmi untuk mengelola HGU Nangahale.
Namun, masalah muncul ketika sejumlah pihak tidak sah mengambil hasil kebun, seperti kelapa dan pohon jati, yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian ganda sejak 2014.
Pater Yoseph yang telah tinggal di lokasi tersebut sejak 2014 hingga 2021 menceritakan pengalaman pribadi yang cukup mengancam nyawanya. Ia mengungkapkan bahwa selama tinggal di Patiahu, ia bahkan pernah dihadapkan pada ancaman dari sekelompok orang yang membawa senjata tajam, serta diproses hukum meskipun dirinya justru menjadi korban kekerasan.
Ia merasa bahwa upaya untuk menuntut keadilan malah berujung pada ancaman terhadap keselamatan dirinya dan para karyawannya.
“Tindakan ini sangat merugikan kami. Mereka yang tinggal di atas tanah tersebut malah mengambil hasil kebun yang sudah menjadi hak perusahaan,” kata Pater Yoseph, yang merasa bahwa pihak lain harus bersikap adil dalam memberitakan suatu peristiwa dan tidak menggiring opini.
Namun, pandangan berbeda datang dari kuasa hukum warga Suku Goban Runut dan Soge Natarmage, Antonius Yohanes Bala, SH. Ia menyatakan kekecewaannya terhadap tindakan pembersihan lahan yang dilakukan oleh PT Krisrama.
Menurutnya, penggusuran yang dilakukan perusahaan tersebut adalah pelanggaran hukum dan tindakan yang tidak manusiawi. Ia juga menegaskan bahwa dalam SK HGU yang diterbitkan oleh BPN NTT, tidak ada izin untuk melakukan penggusuran sebagai solusi sengketa tanah.
John Bala juga menekankan pentingnya penyelesaian sengketa melalui jalur hukum, bukan dengan melakukan tindakan penggusuran sepihak. Ia menegaskan bahwa pihaknya bersama organisasi AMAN dan PPMAN akan terus mendampingi warga yang menjadi korban dalam kasus ini, serta siap menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan.
Polemik ini menunjukkan betapa rumitnya permasalahan hukum terkait penguasaan tanah HGU Nangahale, dengan dua pihak yang memiliki pandangan berbeda tentang siapa yang benar dan siapa yang melanggar hak.
Masyarakat pun menantikan perkembangan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa ini, baik melalui jalur hukum maupun upaya mediasi yang adil dan transparan.(AD)