MEDIA NUCA โ Pemerintah Indonesia secara aktif memperjuangkan akses produk Indonesia agar tetap diterima di pasar internasional, terutama di pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat. Langkah ini diambil guna mendukung pertumbuhan perdagangan internasional Indonesia yang sedang pulih pasca pandemi Covid-19. Diharapkan, peningkatan jumlah ekspor akan menjaga cadangan devisa Indonesia tetap berada pada level yang positif.
Salah satu upaya yang akan memajukan perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa adalah melalui tercapainya kesepakatan dalam Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA).
Pembahasan mengenai perjanjian ini telah mencapai tahap yang signifikan. Dalam sebuah konferensi pers di Istana Merdeka (13/7/2023), Menko Airlangga menyampaikan bahwa saat ini Indonesia sedang memasuki ronde ke-5 dan perundingan ke-15, yang berlangsung hingga tanggal 14 Juli 2023 di Yogyakarta.
โPerjanjian I-EU CEPA membahas 21 isu penting, termasuk perdagangan barang, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengadaan pemerintah, perdagangan dan pembangunan berkelanjutan, sistem pengadilan investasi, aturan asal barang, hambatan teknis perdagangan, klausul anti penipuan, energi dan bahan baku, penyelesaian sengketa, hak kekayaan intelektual, dan lain sebagainya,โ ungkap Menko Airlangga.
Dalam perundingan tersebut, salah satu isu penting yang dibahas adalah terkait pengadaan pemerintah atau government procurement. Uni Eropa menginginkan pembelian pemerintah dilakukan secara terbuka, sementara Indonesia mengusulkan adanya positive list yang memuat barang-barang yang dapat diakses secara internasional.
Menko Airlangga menjelaskan bahwa BUMN juga menjadi perhatian dalam perundingan ini. Beberapa BUMN mendapatkan penugasan khusus, sementara yang lain tidak. Namun, Indonesia menekankan pentingnya kerjasama yang tidak diskriminatif, terutama untuk BUMN yang bersifat komersial.
Terkait dengan perdagangan berkelanjutan, Indonesia berusaha mendapatkan akses yang lebih luas, terutama untuk produk-produk yang berwawasan lingkungan. Menko Airlangga menyoroti pentingnya standarisasi dalam bidang ini, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk industri furnitur atau kayu, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk kelapa sawit, dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia juga memilih mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) melalui International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang bersifat Ad Hoc dan mempertimbangkan aspek konsultatif dalam menyelesaikan sengketa.
Selain itu, perhatian Indonesia juga tertuju pada isu European Deforestation (EUDR), yang berpotensi mempengaruhi tujuh komoditas utama Indonesia, seperti sapi, kakao, kopi, kelapa sawit, kedelai, kayu, dan karet. Indonesia berharap agar implementasi regulasi EUDR mengadopsi praktik terbaik yang sudah ada.
Terdapat klasifikasi risiko bagi negara-negara, di mana ketika Indonesia diklasifikasikan sebagai risiko tinggi, 8% barang tersebut harus diverifikasi, sedangkan risiko standar sebesar 6%, dan risiko rendah sebesar 4%. Hal ini berpotensi mengganggu petani kecil di Indonesia yang mencapai 15 hingga 17 juta orang.
Selain perjanjian I-EU CEPA, Indonesia juga tengah berupaya menyelesaikan Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF). Perundingan IPEF diharapkan dapat diselesaikan pada November 2023 mendatang. IPEF memiliki empat pilar utama, yaitu perdagangan, rantai pasok, ekonomi bersih, dan ekonomi yang adil.
Indonesia menekankan pentingnya mineral kritis dalam pilar perdagangan, sehingga produk Indonesia berbasis nikel dapat masuk ke pasar Amerika dan menjadi bagian dari rantai pasok otomotif.
Diharapkan dengan kemajuan signifikan dalam perundingan-perundingan ini, I-EU CEPA dapat diselesaikan pada akhir tahun ini, sementara IPEF diharapkan dapat diselesaikan pada November 2023. Langkah-langkah ini akan membuka peluang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan perdagangan internasional dan memperkuat posisinya di pasar global.(AD)