Oleh: Balduinus Ventura
Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM Pengurus Pusat (PP) PMKRI 2022-2024
MEDIA NUCA – Peringatan Hari Pahlawan pada setiap 10 November bukan sekadar ritual, melainkan momentum penting yang mengundang kita untuk merenungkan dan memahami makna jasa serta pengorbanan para pejuang bangsa di masa pra dan awal kemerdekaan. Sejarah panjang perlawanan dan heroisme rakyat nusantara dalam perjuangan melawan penjajah menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda untuk mempertahankan nilai-nilai kejuangan dan menjadi pahlawan dalam era modern.
Sebelum proklamasi kemerdekaan, para pahlawan bangsa berjuang dengan mengorbankan darah dan nyawa demi membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajah. Kekuatan konvensional dan kesadaran rakyat sebagai sebuah bangsa yang memiliki nasib, cita-cita, dan prinsip untuk menjadi manusia merdeka tergambar jelas dalam perlawanan mereka terhadap kolonialisasi oleh Belanda dan Inggris.
Kolonialisasi bangsa barat yang dimotivasi oleh kepentingan ekonomi telah mengakar dan menimbulkan dominasi, ekspansi, dan eksploitasi di tanah nusantara sejak abad ke-16. Rakyat Indonesia dihadapkan pada situasi sulit, kerja paksa, intimidasi, dan sistem penghisapan yang brutal oleh penjajah, memunculkan semangat kebebasan, kemandirian, dan kepahlawanan untuk menentang penindasan.
Puncak perlawanan terjadi pada 10 November 1945 dengan pertempuran di Surabaya, yang merenggut ribuan hingga belasan ribu nyawa pahlawan. Hari tersebut menjadi tonggak sejarah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meskipun bukan berarti akhir dari tantangan kolonialisme. Sebaliknya, itu menjadi awal dari bentuk baru kolonialisme yang perlu dihadapi.
Konklusi historis menempatkan status pahlawan masa lampau sebagai pejuang yang menghancurkan tembok besar kolonialisme. Namun, eksistensi dan hakikat pahlawan di tengah dinamika, globalisasi, dan kompleksitas diskursus tentang penjajahan, mendorong kita untuk terus menjadi pahlawan melawan neo-kolonialisme pasca-kemerdekaan.
Meskipun kolonialisme berakhir, Indonesia masih dihadapkan pada benih-benih penjajahan dalam berbagai aspek kehidupan. Neo-kolonialisme, dengan mengendalikan paradigma ideologis, perang psikologis, dan sistem negara secara tidak langsung, memperburuk kondisi masyarakat. Kekuasaan “soft power” merugikan kepentingan masyarakat kecil demi kelompok tertentu, seperti yang terjadi dalam kasus Rempang-Batam Kepulauan Riau.
Proyek-proyek seperti eksploitasi geothermal di NTT, yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat, malah menjadi alat kapitalisasi oleh investor. Kebijakan yang tidak memihak pada kesejahteraan masyarakat setempat menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dalam hal kedaulatan ekonomi.
Realitas politik yang diwarnai oleh kontrol elit ekonomi, kaum ningrat, dan dinasti politik, mencerminkan kembalinya kolonialisme dalam bentuk baru. Rakyat hanya menjadi objek konsumsi, sedangkan kekayaan alam dinikmati oleh penguasa dan korporat. Isu-isu seperti kemiskinan, lapangan kerja yang terbatas, dan pendidikan yang rendah mutunya terabaikan karena panggung politik lebih terfokus pada kepentingan kelompok tertentu.
Dengan semakin merosotnya keadaan politik dan kesadaran masyarakat sipil, terutama dalam gerakan buruh, petani, mahasiswa, dan gerakan ekstra-parlemen, perlu adanya kesadaran kritis dan solidaritas kepahlawanan generasi muda. Elit politik dan ekonomi yang mengendalikan opini publik dan merusak psikologi masyarakat harus dihadapi dengan keberanian dan semangat perlawanan.
Peringatan Hari Pahlawan menjadi panggilan bagi generasi muda untuk menghidupkan kembali semangat kepahlawanan. Mereka perlu terlibat dalam diskusi dan tindakan untuk mengatasi neokolonialisme dan menumbangkan penjajahan baru yang merajalela dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia. Kemerdekaan tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga substansial dalam ekonomi, politik, dan pendidikan. (AD)