MEDIA NUCA โ Jokowi mengejutkan dunia ketika ia pertama kali memenangkan Pemilu Presiden Indonesia pada tahun 2014 lalu.
Yanuar Nugroho, Mantan Deputi II KSP, dalam komentarnya terhadap Man of Contradiction (Ben Bland, 2020) menulis bahwa hanya sedikit orang yang dengan jeli memprediksi bahwa mantan pengrajin kayu yang kemudian menjadi gubernur Jakarta itu akan menjadi presiden untuk sebuah negara dengan 250 juta penduduk dan pasar terbesar Asia.
Tak pelak, dunia turut merespon kejutan elektoral sepuluh tahun lalu itu. Majalah TIME pada Oktober 2014 menyebut Jokowi sebagai โharapan baruโ bagi Indonesia.
Jokowi dianggap benar-benar representasi rakyat kecil sebab ia datang dari kalangan bawah serentak merupakan golongan sipil, bukan militer.
Ditambah, Jokowi memikul janji untuk memperkuat demokrasi, menumbuhkan ekonomi dan secara serius memperhatikan isu Hak Asasi Manusia (HAM).
Akan tetapi, harapan itu bagai doa yang tak terjawab, sebab sampai Jokowi memenangkan kembali Pemilu Presiden tahun 2019 untuk periode ke-2, ia gagal menuntaskan banyak janji politiknya.
Penulis Ben Bland dalam bukunya Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020) bahkan menuduh Jokowi telah semakin tenggelam dalam kekuasaan.
Bland menyoroti perubahan sikap Jokowi dari seseorang yang dianggap datang โdari luarโ menjadi justru tertancap begitu larut dalam lingkaran โelit politikโ. Kebijakan-kebijakannya sepi fokus.
Jokowi yang sama yang pernah dikagumi karena reputasinya yang bersih bahkan telah memperlemah komisi anti-korupsi yang berpengaruh di negara ini.
Bland lalu menyimpulkan, semakin lama Jokowi memerintah, semakin problematik pula kepemimpinan yang ia hasilkan.
Hampir serupa dengan Bland, di penghujung masa jabatan Jokowi sebagai Presiden, koran New York Times ikut memberi komentar.
Tampak julukan sebagai โharapan baruโ di awal hanyalah mitos, New York Times menyebut Jokowi justru sebagai dalang berdarah dingin yang merusak demokrasi dengan memelopori praktik politik dinasti di akhir masa jabatannya.
Praktik itu tampak dalam banyak hal, mulai dari tak digubrisnya peringatan para pakar perihal konflik kepentingan saat adik Jokowi menikah dengan Ketua MK, Anwar Usman, pada 2020 silam sampai dengan keputusan kontroversial MK yang menguntungkan Gibran pada Pilpres 2024 yang dibiarkan Jokowi.
Jokowi bukanlah harapan bangsa, melainkan hanya seorang pria harapan keluarga yang mengamankan kepentingannya sendiri.