MEDIA NUCA – Penerbit Buku Kompas (PBK) bersama Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) baru saja menggelar acara peluncuran dan bedah buku terbaru Romo Franz Magnis-Suseno berjudul “Iman dalam Tantangan: Apakah Kita Masih Dapat Percaya pada ‘Yang di Seberang’?”.
Buku setebal 215 halaman karya Franz Magnis-Suseno tersebut tidak iseng. Dalam 12 bab, penulis mencoba mempertahankan tesis pokok bahwa secara umum, tantangan ilmu pengetahuan dan masalah-masalah lain abad ke-21 tidak membatalkan hipotesis Tuhan.
Acara yang digelar pada hari Jum’at (27/10/2023) di gedung Kompas Institute tersebut dihadiri langsung oleh Romo Franz Magnis-Suseno sendiri sebagai penulis.
Hadir pula dalam kesempatan itu kelima pembicara, antara lain Romo Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP), Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera (Tokoh Buddhis), Dr. Phil. Fitzerald Kennedy Sitorus (Pengajar Filsafat), Feby Indirani (Penulis), dan Maria Margaretha Hartiningsih (Wartawan Senior Harian Kompas).
Romo Benny Susetyo yang didaulat menjadi pembicara pertama menarik relevansi buku pada pengamalan Pancasila. Menurutnya, kelima tantangan amat serius abad ke-21 yang diangkat dalam buku menuntut kita memikirkan bagaimana Pancasila bisa menjadi acuan jawaban.
Selanjutnya ia menganjurkan para elit politik membaca buku yang menurutnya sangat reflektif dan membuka hati orang tersebut.
“Selain teman-teman disini, para elit politik harusnya membaca buku ini, supaya mereka memiliki hati yang terbuka agar Pancasila benar bisa dan mampu membangun peradaban. Elit politik dapat kemudian mendorong bahwa Pancasila bukan hanya sekedar hafalan, tetapi menjadi nafas dan tata cara kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia,” tandas Benny.
Dari pembahasan politik yang relatif cair, moderator melempar kesempatan kepada Dr. F. K. Sitorus untuk menyampaikan tanggapan filosofis atas isi buku.
Tanpa basa-basi, dosen filsafat UPH ini membentangkan tiga tanggapan kritis serius terhadap isi buku di hadapan seratus lebih peserta yang hadir di tempat acara.
Pertama, Sitorus menegaskan bahwa penulis dalam membela hipotesis Tuhan di hadapan sekularisme masih menempuh strategi Kantian bahwa pengetahuan itu terbatas dan perkara Tuhan berada di luar ranah ilmu (teori evolusi dan astrofisika tidak mengatakan apa-apa tentang Tuhan/perkara ketuhanan masih terbuka).
Menurut Sitorus, argumen penulis bahwa proses-proses astrofisis, evolusi biologis, dan sebagainya yang diklaim penulis tidak menjelaskan seluruh pertanyaan tentang alam semesta yang amat improbabel ini dan bahwa masuknya yang Ilahi dalam kerangka pemahaman kita akan membuat segalanya menjadi mudah dimengerti, belum memuaskan.
Sitorus mempertanyakan campur tangan atau intervensi Yang Ilahi yang dimaksud penulis. Apakah campur tangan atau intervensi yang dimaksud membatalkan hukum alam atau justru terlaksana melalui hukum alam. Dan, jika melalui hukum alam, apa alasan mengatakan itu intervensi Ilahi? Menurut Sitorus, penulis dalam buku tersebut tidak menjelaskan pertanyaan ini dengan sangat meyakinkan.
Kedua, Sitorus membidik tesis bahwa agama akan survive jika tampil positif bagi semua orang. Sitorus tidak yakin bahwa hal itu saja mampu mendorong orang untuk beragama sehingga agama itu sendiri survive.
Ketiga, Sitorus mengapresiasi penjelasan penulis bahwa fenomena sekularisasi merupakan momen surutnya agama ke wilayah privat sebab kompetensi problem solving-nya telah diambil alih oleh ilmu pengetahuan dan merupakan alasan mengapa banyak orang beragama merasa tidak perlu rasional.
Pembicara ketiga, Maria Margaretha Hartiningsih mengajak peserta diskusi membawa isi buku pada pengalaman hidup nyata yang personal. Ia berkisah perihal bagaimana iman itu ia hayati secara pribadi, sebagai sesuatu yang menurutnya sangat subtil, tidak selalu mudah dijelaskan, dan tidak terwakilkan.
Feby Indirani, lalu kembali fokus pada isi buku. Ia mengaku mendapat pencerahan di berbagai titik pada setiap pembahasan dalam buku tersebut. Sebagai penulis sastra, Feby juga memuji bagaimana penulis melalui detail-detail sederhana membuat dirinya disadari oleh pembaca sebagai sosok yang peka terhadap sastra.
Sesi presentasi lalu dipuncaki dengan pemaparan dari Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera. Bhikkhu Dhammasubho membacakan puisi untuk Romo Franz Magnis-Suseno. Ia juga mengapresiasi Magnis sebagai guru yang sederhana, tidak menyulitkan orang lain, dan tokoh spiritual yang tegas secara prinsip, tetapi tidak keras.
Acara lalu ditutup dengan tanggapan singkat dari penulis sendiri Romo Franz Magnis-Suseno. Magnis dalam kesempatan itu menegaskan kembali masalah yang ia angkat dalam bukunya, yakni apakah di masa sekarang agama masih relevan dan jawabannya jelas, bahwa agama justru makin otentik sebab di hadapan gempuran tantangan-tantangan seperti sekularisme agama menjadi “opsi”, bahwa daripada sekadar warisan, ia menjadi keyakinan atas kesadaran yang sungguh reflektif.
Magnis juga kembali menegaskan bahwa masalah agama ialah bahwa ia merupakan entitas bagi orang-orang yang berkeyakinan sama, di dalamnya ada upaya legitimasi kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan. Maka agama menurut Magnis hanya akan mempunyai masa depan kalau para penganutnya terus transparan terhadap apa yang mereka imani, kepada Tuhan.
Pada bagian akhir, Magnis kembali menegaskan pentingnya memasukkan filsafat dalam kurikulum pendidikan di Indonesia sebagai ilmu kritis. Serentak dengan itu adalah anjuran untuk menggandrungi sastra. Magnis mengisahkan masa-masa ia menjalani pendidikan dasar di Jerman di mana sastra dianggap serius dan dihargai.
Menurut Magnis, Indonesia memiliki banyak karya sastra besar. Dalam sastra orang belajar siapa itu manusia, kasih, pengkhianatan, kehancuran, kebaikan, kebencian, tobat, dan sebagainya. Membaca sastra menurut Magnis bisa membawa orang keluar dari kepicikan. Karena itu ia meminta agar sastra lebih tegas dalam kurikulum kita. (PA)